PANTAU LAMPUNG– Film “Serdam (The Death Whistle)’ Produksi Dewan Kesenian Lampung dan Movie Lab Lampung ditaja dalam Kenduri Serumpun Melayu Film Festival 2023 yang digelar di Teater Arena Komplek Taman Budaya Jambi (TBJ) Jambi, dari 11 -14 Oktober mendatang.
Film “Serdam” karya sutradara Dede Safara Wijaya ini tampil bersama 60 karya film dari 5 negara serumpun Melayu yaitu; Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Helat akbar ini yang mengusung tajuk : Kembali Ke Akar ini didukung oleh Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,Riset dan Teknologi.
Ketua Tim Pokja Apresiasi dan Literasi Film Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mentakan dengan turut mendukung budaya melalui perfilman dan tentunya termasuk pelaku film kami dari tim Direktorat Perfilman, musik dan media berharap kegiatan ini bisa menjadi momentum pengembangan film dengan mengusung budaya melayu sehingga masyarakat Indonesia maupun negara-negara serumpun melayu semakin erat dalam tali ikatan kesamaan jati dirinya.
“Semoga ini tidak hanya menjadi agenda ditahun ini saja. Tetapi juga akan berkelanjutan,” tandasnya.
Sementara itu, Festival Director Kenduri Serumpun Melayu Film Festival 2023 Anton Oktavianto mengatakan festival ini rencananya akan diadakan secara estafet di kota-kota di Sumatera dan Jambi adalah kota pertama diselenggarakan kegiatan ini.
Dipilihnya Jambi sebagai pembuka festival ini, lanjut Oktavianto, dilandasi sejarah dan bukti peradaban besar se-Asia Tenggara yang berada di Jambi, Cagar Budaya Komplek Percandian Muaro Jambi, yang juga menjadi salah satu destinasi program kunjungan kebudayaan dalam festival ini.
“Diluar subtansi tersebut, lanjutnya, capaian yang akan diraih yaitu untuk menguatkan komunikasi dan informasi jaringan film di Sumatra, membuka potensi industri film sebagai tujuan ekonomi, pendataan serta pemetaan pelaku dan ekosistem film, peningkatan kapasitas SDM, merekomendasikan kebijakan dan jaminan hukum terhadap penguatan tata kelola kelembagaan film daerah. Menariknya pada pada festival film internasional negara-negara Serumpun Melayu ini dibuka dengan pemutaran film “Onde Mande (The Prize)” karya dari sutradara Paul Agusta. Sedangkan dalam gekaran acara penutup akan diatayangkan film Fluid Bondaries (2016) karya Vladimir Todarovic, mun Jeong –hyun dan Daniel Rudi Haryanto.
Dalam tahun pertama helat ini digelar, Kenduri Serumpun Melayu Film Festival berhasil mengahdirkan 60 film panjang dan pendek dari 5 negara Serumpun Melayu diantaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.
“Fflm-film ini dihadirkan dalam program-programnya yaitu perspektif, manuskrip, kembali ke akar, melihat ke akar dan layar tancap yang bisa diikuti tidak hanya oleh penggiat film, akan tetapi juga oleh seluruh kalangan masyarakat,” imbuh Anton.
Selain itu, dalam helat ini j ada program diskusi dan workshop dengan topik-topik yang menjawab kebutuhan insan perfilman Serumpun Melayu juga ada Pentas Budaya dan kunjungan Situs Budaya.
Representasi Budaya Lokal yang Tergusur Jaman
Film “Serdam (The Death Whistle)” produksi Dewan Kesenian Lampung kolaborasi dengan Movie Labs diproduseri Satria Bangsawan, Bagus S.Pribadi dan Iin Zakaria menjadi representasi bagaimana tradisi lokal perlahan “mati” di zaman milenium. Naskah film Serdam ini digarap Iin Zakaria ini disutradarai dede Fara Wijaya.
Serdam (bahasa Lampung: Sekhdam) adalah alat musik tiup khas Lampung pesisir yang kini bisa dikatakan mulai punah. Film berdurasi sekira 1 jam ini berbahasa Lampung ini mengambil latar di wilayah Krui (Pesisir Barat). Dulu kala di kawasan ini banyak pengrajin alat tiup Lampung ini tinggal.
Film Serdam dibuka dengan perbincangan antara seorang pembuat serdam bernama Hamdan (diperankan Iswadi Pratama) dengan Pun Ibrahim (diperankan Deddy), seorang tetua adat setempat.
Pun Ibrahim meyakini, alat musik ini memiliki daya magis yang mampu menyembuhkan autisme anak lelakinya apabila dibuat dengan cara tradisional.
Sang maestro, Hamdan mengatakan, pembuatan serdam dengan cara tradisional membutuhkan sejumlah syarat yang sebenarnya sudah tidak lazim dilakukan di zaman modern. Syarat tersebut yakni menancapkan serdam di makam gadis atau bujang yang meninggal dunia dengan kondisi yang tidak wajar.
Penulis naskah Iin Zakaria menuturkan menurut hasil riset, memang seperti ini cara pembuatan serdam secara tradisional. Menurut kepercayaan, ini untuk menghasilkan suara yang menyayat.
Tekanan dari tetua adat yang mengharuskan serdam dibuat menggunakan cara tradisional ini kemudian berbenturan dengan zaman modern.
Benturan budaya ini direpresentasikan dengan konflik antara Hamdan dengan anaknya, Jaya, yang menolak keras cara-cara klenik sang Ayah.
(Red)