PANTAU LAMPUNG— Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung mengeluarkan surat edaran bernomor 400.3.8.5/3149/V.01/DP.2/2025 yang menginstruksikan Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR) di sekolah-sekolah. Kebijakan ini memicu kontroversi karena menekankan kehadiran fisik ayah saat pengambilan rapor sebagai indikator keterlibatan orang tua, meski banyak anak tumbuh dalam keluarga non-nuklir atau orang tua bekerja di luar kota.
Surat edaran GEMAR ditujukan pada sekolah-sekolah di seluruh Provinsi Lampung, dengan tujuan meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan anak. Namun, sejumlah pihak menilai kebijakan ini terlalu sempit dan tidak realistis mengingat kondisi sosial-ekonomi masyarakat Lampung yang beragam. “Kebijakan ini mengasumsikan setiap keluarga memiliki ayah yang bisa hadir fisik di sekolah. Realitas di lapangan jauh lebih kompleks,” ujar M. Iqbal Farochi, mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Pelaksanaan GEMAR mengharuskan ayah hadir setidaknya lima belas menit setahun sekali untuk menerima rapor anak. Meskipun dimaksudkan untuk memperkuat peran ayah, kebijakan ini dinilai mengabaikan ayah yang bekerja sebagai buruh harian, petani, atau perantau yang sulit meninggalkan pekerjaan. Dalam perspektif ini, kehadiran fisik menjadi tolok ukur keterlibatan, sementara perjuangan mencari nafkah atau bentuk dukungan lain tidak diperhitungkan.
Kritik utama terhadap surat edaran ini adalah potensi dampak psikologis terhadap anak-anak. Bagi siswa yang ayahnya tidak ada atau tidak bisa hadir karena kondisi tertentu, instruksi formal ini dapat menjadi sumber tekanan dan rasa malu. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan psikososial, GEMAR justru bisa memperkuat stigma bagi anak-anak dari keluarga tunggal atau non-nuklir. Farochi menekankan bahwa kebijakan ini seperti “belati psikologis bagi mereka yang tumbuh tanpa sosok ayah yang bisa hadir secara fisik.”
Lebih jauh, GEMAR menimbulkan pertanyaan tentang fokus Dinas Pendidikan. Alih-alih menargetkan isu krusial seperti kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah, ketimpangan fasilitas sekolah, dan pengembangan kurikulum adaptif, kebijakan ini tampak lebih pada seremonial dan formalitas administratif. Praktik ini memperlihatkan kecenderungan birokrasi untuk menekankan kehadiran fisik tanpa memikirkan dampak substantif pada pendidikan anak.
Pakar pendidikan menekankan bahwa keterlibatan orang tua tidak bisa diukur semata-mata melalui kehadiran fisik. Dukungan akademik, bimbingan emosional, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan pendidikan juga merupakan bentuk keterlibatan yang penting. Dengan demikian, GEMAR dinilai perlu direvisi agar lebih inklusif dan realistis, menyesuaikan konteks sosial-ekonomi masyarakat Lampung, serta fokus pada peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Kebijakan GEMAR menjadi peringatan bagi pemerintah daerah untuk menyeimbangkan niat baik dengan realitas di lapangan, sehingga program peningkatan keterlibatan orang tua tidak berubah menjadi beban psikologis bagi anak-anak dan keluarga yang sudah menghadapi tantangan hidup yang kompleks.***







