PANTAU LAMPUNG– Proyek besar peningkatan Daerah Irigasi Way Sekampung (Sub D.I. Raman Utara) Tahap II senilai Rp92 miliar tengah menjadi sorotan publik. LSM PRO RAKYAT menyoroti dugaan penyimpangan serius dalam proyek yang dilaksanakan oleh SNVT PJPA Kementerian PUPR ini, mulai dari kualitas pekerjaan, ketidaksesuaian spesifikasi, hingga masalah yang lebih sensitif: upah pekerja yang “hilang”.
Proyek ini dikerjakan oleh PT Basuki Rahmanta Putra (BRP) bersama Konsultan Pengawas KSO PT Catur Bina Guna Persada – PT Bina Buana Raya dengan nilai kontrak pengawasan sekitar Rp4 miliar. Berdasarkan data LPSE, proyek ini memiliki HPS Rp115 miliar dan pagu Rp117 miliar. Namun, laporan lapangan yang dikumpulkan LSM PRO RAKYAT menunjukkan adanya indikasi pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi.
Ketebalan beton tidak seragam, campuran semen tidak homogen, dan penggunaan wiremesh M6 dan M8 yang diduga tidak sesuai standar menjadi sorotan utama. Pekerja lapangan bahkan mengeluhkan adanya penahanan upah oleh oknum PT BRP dengan dalih agar tetap bekerja. Sementara standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) minim diterapkan, pengawasan konsultan maupun aparat hukum pun dinilai lemah.
Ketua Umum LSM PRO RAKYAT, Aqrobin A.M, menegaskan bahwa proyek ini berpotensi merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja harian. “Nilai proyek fantastis, hampir ratusan miliar, tapi realisasi di lapangan jauh dari ekspektasi. Dugaan pelanggaran spesifikasi dan kekurangan volume bisa merugikan negara. Apalagi indikasi upah pekerja yang ‘hilang’ sampai Rp90 juta, ini serius dan tidak bisa dianggap enteng,” ungkap Aqrobin di kantor LSM PRO RAKYAT, Pahoman, Bandar Lampung, Rabu (12/11/2025).
Aqrobin menekankan tanggung jawab Kejaksaan Tinggi Lampung yang mendampingi proyek. “Pendampingan hukum itu bukan cuma formalitas. Kalau ada dugaan penyimpangan, Kejati Lampung wajib turun langsung memeriksa. Uang rakyat dipertaruhkan di sini,” tegasnya.
Sekretaris Umum LSM PRO RAKYAT, Johan Alamsyah, SE, menambahkan bahwa surat pembayaran upah pekerja menunjukkan pembayaran periode tertentu sebesar Rp20,5 juta, sementara sisanya sekitar Rp90 juta belum diterima para pekerja harian. “Ini bukan sekadar angka, tapi hidup keluarga pekerja yang terdampak. Kami sudah laporkan berkali-kali, tapi Kejati Lampung seolah acuh,” kata Johan.
LSM PRO RAKYAT juga mengingatkan bahwa proyek ini berpotensi melanggar beberapa regulasi penting, antara lain:
1. UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 59 ayat (1) – wajib melaksanakan pekerjaan sesuai spesifikasi kontrak.
2. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 – penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara bisa dihukum 20 tahun penjara.
3. Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 78 ayat (1) – penyedia bertanggung jawab atas mutu hasil pekerjaan.
4. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, Pasal 4 – pendampingan hukum tidak boleh digunakan untuk melegitimasi pelanggaran.
Aqrobin menegaskan pihaknya akan melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Presiden, Kejaksaan Agung RI, Komisi Kejaksaan, dan Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR. “Rakyat butuh bukti nyata, bukan alasan. Jangan sampai proyek ratusan miliar ini dikerjakan asal-asalan. Kami akan kawal sampai tuntas agar tidak ada uang rakyat yang diselewengkan,” pungkas Aqrobin.***





