PANTAU LAMPUNG- Kasus PT LEB kembali menjadi sorotan publik. Tiga direksi dan komisaris perusahaan ini ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi, sementara publik masih mempertanyakan dasar hukum serta dalil kerugian negara yang digunakan oleh Kejati Lampung. Apalagi, penanganan kasus ini berlangsung hampir satu tahun, tapi banyak aspek regulasi masih abu-abu.
Kejati Lampung sudah mempublikasikan para tersangka mengenakan rompi tahanan, bahkan aset miliaran rupiah disita. Namun pertanyaan mendasar tetap muncul: dari mana kerugian negara itu berasal? Aspidsus Armen Wijaya menyebut kasus ini sebagai “Role Model”, istilah yang jika diterjemahkan secara tradisional di masyarakat, berarti “kelinci percobaan”. Publik pun mulai bertanya-tanya apakah PT LEB dijadikan eksperimen hukum semata.
Yang menarik, regulasi terkait Participating Interest (PI) 10% dari kontraktor migas—sumber dana yang dipersoalkan—tidak jelas menuntut mekanisme pengelolaan yang spesifik. Dana PI 10% berasal dari kontraktor migas, bukan dari APBD atau APBN. Lalu, mengapa direksi PT LEB dijebloskan ke Rutan Kelas 1 Way Hui jika sumber dana tersebut memang bukan uang negara langsung?
Frasa “Role Model” atau istilah tradisional “kelinci percobaan” memicu kritik publik. Banyak pihak menilai, Kejati Lampung perlu menjelaskan prosedur pengelolaan dana bagi hasil dari kontraktor migas secara rinci, termasuk mekanisme penggunaan PI 10% di PT LEB. Tanpa penjelasan ini, tuduhan kerugian negara bagi PT LEB terkesan prematur dan menimbulkan kesan bahwa perusahaan daerah ini menjadi eksperimen hukum yang kontroversial.
Analisis praktis menunjukkan bahwa pengelolaan dana PI 10% PT LEB mungkin serupa dengan praktik BUMD lain di seluruh Indonesia. Namun, publik tetap menuntut transparansi: mekanisme penggunaan dana, alokasi untuk operasional perusahaan, dan pembayaran tunggakan karyawan harus jelas. Tanpa kejelasan ini, frasa “kelinci percobaan” tampak relevan, karena kasus PT LEB berpotensi menjadi preseden hukum yang menentukan cara BUMD mengelola dana bagi hasil migas di masa depan.
Sampai saat ini, publik menunggu langkah Kejati Lampung yang lebih transparan dan berbasis regulasi, agar kasus ini tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga memberikan kejelasan hukum yang dibutuhkan seluruh pihak terkait.***












