PANTAU LAMPUNG– Penahanan tiga direksi PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB) oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung telah memasuki bulan kedua, sejak Senin, 22 September 2025. Meskipun dalam konferensi pers Aspidsus Armen Wijaya disebutkan penahanan hanya berlaku selama 20 hari, hingga kini publik masih menunggu kejelasan soal dasar hukum dan kronologi pengelolaan dana Participating Interest (PI) 10% yang menjadi alasan penahanan.
Isu pengelolaan dana PI 10% ini menjadi sorotan karena diduga menimbulkan kerugian negara hingga Rp 200 miliar, meskipun PT LEB disebut hanya menerima 5% dari total dana karena berbagi dengan BUMD DKI Jakarta. Namun, rincian perhitungan kerugian tersebut hingga saat ini belum dijelaskan secara transparan oleh Kejati Lampung.
Aspidsus Kejati Lampung Armen Wijaya menegaskan, penahanan dilakukan karena “berdasarkan alat bukti yang cukup, tim penyidik telah menetapkan para tersangka dan dilakukan penahanan.” Namun, publik menuntut informasi lebih detail, termasuk kronologi yang menyebabkan dugaan kerugian negara dan prosedur pengelolaan PI 10% yang seharusnya dijalankan.
Sejauh ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang jelas mengatur mekanisme pengelolaan PI 10% oleh BUMD maupun perusahaan yang mengelola hak partisipasi tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan serius: apakah penahanan tiga direksi PT LEB menjadi role model pengelolaan dana PI 10% di seluruh Indonesia, atau justru mereka dijadikan “kelinci percobaan” dalam kasus yang regulasinya masih abu-abu?
Sumber internal menyebutkan, publik berharap Kejati Lampung segera memberikan edukasi publik mengenai pengelolaan dana PI 10% yang benar, termasuk menjelaskan peraturan dan prosedur yang seharusnya dijalankan oleh perusahaan dan BUMD. Tanpa kejelasan ini, upaya pemberantasan korupsi justru bisa menimbulkan kebingungan dan spekulasi negatif.
Kerugian negara yang dikaitkan dengan kasus ini juga menjadi sorotan media nasional. Apakah benar kerugian tersebut mencapai Rp 200 miliar, dan bagaimana peran PT LEB serta BUMD DKI Jakarta dalam pembagian dana PI 10%? Publik menunggu transparansi yang memadai, agar penindakan hukum tidak hanya berhenti pada penetapan tersangka, tetapi juga memberikan pemahaman yang jelas mengenai tata kelola dana negara.
Selain itu, pertanyaan lain yang muncul adalah terkait prosedur internal PT LEB dan koordinasi dengan pihak pemerintah daerah. Apakah ada kesalahan administrasi, kekeliruan manajemen, atau praktik yang disengaja? Hingga kini, Kejati Lampung belum menguraikan hal ini, sehingga spekulasi publik terus berkembang.
Para pengamat hukum menilai, kasus ini bisa menjadi titik penting untuk menetapkan standar pengelolaan PI 10% di Indonesia. “Kalau memang ini akan menjadi role model, seharusnya ada panduan dan regulasi yang jelas, sehingga perusahaan dan BUMD tahu bagaimana mengelola dana dengan benar. Tanpa itu, penetapan tersangka akan menimbulkan kontroversi,” kata salah satu pakar hukum di Bandar Lampung.
Dengan situasi ini, masyarakat dan media terus menunggu jawaban resmi dari Kejati Lampung. Penjelasan menyeluruh tentang pengelolaan dana PI 10%, dasar penetapan tersangka, serta kronologi kerugian negara yang sebenarnya sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.***










