PANTAU LAMPUNG– Polemik hukum terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB) semakin panas. Kasus yang menyeret tiga petinggi BUMD tersebut kini memunculkan perdebatan tajam di kalangan pakar hukum korporasi, auditor publik, hingga pemerhati tata kelola keuangan negara.
Inti perdebatan bermuara pada satu pertanyaan besar: apakah keputusan pembagian dividen melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang sudah disahkan lewat laporan keuangan beropini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi?
“Kalau laporan keuangan sudah diaudit dan mendapat WTP, lalu dividen dibagikan lewat RUPS yang sah, di mana letak pelanggaran hukumnya? Ini bukan soal korupsi, tapi soal mekanisme korporasi,” ujar seorang dosen hukum korporasi Universitas Lampung, Rabu (22/10).
Legitimasi RUPS dan Perlindungan Hukum Direksi
Dalam hukum bisnis modern, RUPS merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan perusahaan. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat dan sah secara hukum selama mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pakar hukum bisnis tersebut menjelaskan bahwa setiap keputusan RUPS dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rule (BJR). Prinsip ini menjadi “tameng hukum” bagi direksi yang telah bertindak dengan itikad baik, kehati-hatian, dan berdasarkan pertimbangan profesional.
“Direksi tidak bisa serta-merta dipidana hanya karena hasil keputusannya tidak disukai publik. Sepanjang ada laporan keuangan yang sah, audit independen, dan keputusan RUPS yang legal, tidak ada unsur mens rea atau niat jahat,” tegasnya.
Dividen Rp214 Miliar Masuk PAD, Bukan Kerugian Negara
Berdasarkan data akta notaris RUPS LEB tanggal 23 Agustus 2023, tercatat pembagian dividen sebesar Rp214,867 miliar kepada dua pemegang saham: PT Lampung Jasa Utama (LJU) dan PDAM Way Guruh Lampung Timur. Dana itu berasal dari total penerimaan PI sekitar Rp271 miliar sepanjang 2018–2023.
Seluruh laporan keuangan perusahaan telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) independen dengan hasil opini Wajar Tanpa Pengecualian. Artinya, tidak ditemukan penyimpangan material.
“Dividen itu justru menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai Pasal 28 PP Nomor 54 Tahun 2017, hasil usaha BUMD harus disetorkan ke kas daerah. Jadi bagaimana bisa disebut merugikan negara?” tegas pakar tersebut.
Ia menilai, langkah Kejati Lampung yang belum mengumumkan nilai pasti kerugian negara selama lebih dari satu tahun menimbulkan pertanyaan serius soal transparansi penyidikan. “Kalau kerugiannya belum jelas, berarti unsur korupsinya belum terpenuhi. Hukum pidana tidak bisa berjalan dengan asumsi,” ujarnya menambahkan.
Audit, Kurs, dan Akuntabilitas PSAK
Selain aspek hukum, isu teknis laporan keuangan juga jadi sorotan. Beberapa pihak mempertanyakan penggunaan kurs asumsi APBN dalam konversi pendapatan dolar AS dari bisnis migas. Namun auditor menilai hal itu sah karena sesuai dengan prinsip akuntansi yang diatur dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan).
“Selama dasar perhitungan kurs dijelaskan dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) dan disetujui auditor, maka laporan itu sah. Apalagi kalau sudah diberi opini WTP, berarti tidak ada indikasi manipulasi,” jelas salah satu auditor publik senior di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa kesalahan administratif atau teknis akuntansi tidak bisa serta-merta dikriminalisasi. “Kalau setiap selisih perhitungan dianggap korupsi, maka tidak ada lagi direksi yang berani mengambil keputusan bisnis,” tegasnya.
Risiko Kriminalisasi Kebijakan Bisnis Daerah
Para pakar hukum memperingatkan bahwa kriminalisasi terhadap keputusan RUPS dapat menciptakan efek domino negatif terhadap dunia usaha, terutama di sektor BUMD. Ketakutan mengambil keputusan akan membuat perusahaan daerah stagnan dan menghambat roda ekonomi lokal.
“BUMD tidak akan berani ekspansi atau berinovasi kalau setiap keputusan bisnis bisa dijerat pidana. Padahal, negara butuh pengusaha dan pejabat BUMD yang berani mengambil risiko,” ujar pakar hukum tata kelola publik, Prof. M. Arif.
Ia menilai kasus LEB ini bisa menjadi preseden berbahaya jika penegakan hukum dilakukan tanpa dasar audit resmi dari BPK atau BPKP. “Hukum tidak boleh dijadikan alat politik atau tekanan opini publik. Tanpa kerugian nyata dan bukti niat jahat, ini bukan korupsi,” pungkasnya.
Penegakan Hukum Harus Seimbang dan Profesional
Kasus PI 10% LEB kini menjadi ujian bagi Kejaksaan Tinggi Lampung dalam menjaga kepercayaan publik. Masyarakat menanti hasil audit kerugian negara dan transparansi aset sitaan sejak 2024.
Jika penegakan hukum tidak proporsional, kasus ini bisa menjadi simbol lemahnya perlindungan hukum bagi pelaku ekonomi daerah. Padahal, esensi pemberantasan korupsi adalah menjaga keadilan, bukan menghukum keputusan bisnis yang sah.
“Korupsi itu mencuri uang rakyat, bukan membagikan laba yang sah. Penegakan hukum harus hati-hati agar tidak menakuti investasi dan pertumbuhan ekonomi Lampung,” tegasnya.***