PANTAU LAMPUNG– Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui LBH Bandar Lampung menegaskan ancaman pidana ketenagakerjaan terhadap Direktur Utama PT Wahana Raharja. Pernyataan ini muncul karena perusahaan milik daerah Provinsi Lampung itu belum melaksanakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terkait pembayaran tunggakan gaji dan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi tujuh buruh, meski putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Putusan PHI Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2024/PN Tjk, yang dibacakan pada 18 Desember 2024 dan diperkuat putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 497 K/PDT.SUS-PHI/2025 tanggal 30 April 2025, memerintahkan PT Wahana Raharja membayar total Rp 326.087.940,- kepada tujuh buruh yang menjadi korban ketidakadilan hubungan kerja. Putusan ini menjadi bukti sahnya tuntutan buruh sekaligus menegaskan bahwa menunda hak normatif pekerja merupakan pelanggaran serius terhadap hukum ketenagakerjaan.
Ahmad Khudlori, pengacara publik LBH Bandar Lampung sekaligus kuasa hukum buruh, menegaskan, hampir enam bulan setelah putusan kasasi, PT Wahana Raharja belum juga menunaikan kewajibannya. “Sikap ini bukan hanya menunjukkan penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court), tetapi juga mencerminkan pengabaian terhadap keadilan sosial dan tanggung jawab negara terhadap pekerja,” ujar Ahmad, Selasa (14/10/2025).
Sebagai BUMD, PT Wahana Raharja seharusnya menjadi contoh dalam penegakan hukum dan perlindungan hak pekerja. Pengacara publik tersebut menekankan, jika Direktur Utama tetap mengabaikan putusan pengadilan, ia dapat dijerat pidana sesuai Pasal 90 ayat (1) jo. Pasal 185 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Ancaman pidana berupa penjara maksimal empat tahun atau denda paling banyak Rp 400 juta bagi yang sengaja tidak membayar upah sesuai ketentuan.
YLBHI–LBH Bandar Lampung juga mengingatkan bahwa pengabaian putusan yang telah berkekuatan hukum tetap melanggar asas negara hukum sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua warga negara dan badan hukum, termasuk BUMD, wajib tunduk pada hukum dan keputusan pengadilan.
Selain itu, LBH Bandar Lampung menuntut Gubernur Lampung sebagai pemegang saham pengendali BUMD untuk segera memerintahkan direksi menunaikan putusan PHI, sekaligus mengevaluasi kepatuhan hukum dan tata kelola perusahaan. Pembiaran tindakan melawan hukum oleh BUMD dapat menjadi bukti pelanggaran prinsip akuntabilitas publik serta tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan perusahaan milik daerah.
“Ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan bukan hanya persoalan administratif, tetapi pelanggaran hukum yang bisa berujung pidana. Kami siap menempuh langkah hukum lebih lanjut, termasuk melaporkan potensi tindak pidana ketenagakerjaan jika PT Wahana Raharja terus menunda kewajibannya,” tegas Ahmad Khudlori.
Langkah tegas ini sekaligus menjadi peringatan bagi seluruh BUMD di Indonesia agar menghormati putusan pengadilan dan memprioritaskan hak pekerja sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan hukum. LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa penegakan hukum ketenagakerjaan bukan hanya untuk melindungi pekerja, tetapi juga menjaga integritas dan kredibilitas lembaga pemerintah daerah.***