PANTAU LAMPUNG– Dunia sastra tanah air sore ini akan kembali diramaikan oleh perhelatan akbar literasi. Penyair asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS, dijadwalkan mengisi diskusi sekaligus peluncuran buku puisi bertajuk Republik Puitik di Perpustakaan Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, lantai 4, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Minggu (28/9/2025).
Acara yang dimulai pukul 13.30 WIB ini bukan sekadar peluncuran buku biasa. Lebih dari 80 penyair dari berbagai daerah di Indonesia berpartisipasi dalam antologi puisi “Republik Puitik: 80+ Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka”. Dua nama besar, Sofyan RH Zaid dan Isbedy Stiawan ZS, dipercaya sebagai penulis prolog dan epilog buku, sekaligus hadir sebagai pembicara utama dalam diskusi.
Kegiatan ini diinisiasi Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) dengan menggandeng PDS HB Jassin serta Dinas Perpustakaan dan Arsip DKI Jakarta. Ketua TISI, M. Octavianus Masheka, menyebut acara ini sebenarnya sudah dirancang sejak Juni 2025. “Rencana awalnya digelar pada 16 Agustus 2025 sebagai momen mendekati HUT ke-80 Indonesia merdeka. Namun karena terkendala teknis, akhirnya baru bisa terlaksana hari ini, 28 September,” ujar Octa saat ditemui di kawasan TIM.
Buku Republik Puitik sendiri dieditori oleh penyair Nanang R. Supriyatin, yang juga bertugas sebagai moderator acara. Nama Eka Budianta, salah satu penyair kawakan Indonesia, memberikan endorse di halaman belakang buku, menegaskan pentingnya antologi ini dalam jagat sastra nasional.
Dalam keterangannya melalui pesan WhatsApp, Isbedy Stiawan ZS menegaskan bahwa ia akan menyoroti persoalan serius: negara yang dianggap kerap abai terhadap kebudayaan, terutama seni. “Kalau soal politik atau olahraga, negara cepat sekali hadir. Tetapi dalam hal seni dan kebudayaan, sering kali negara abai,” ujarnya tegas.
Isbedy juga mengkritik bagaimana aspek puitik dan estetik seringkali hanya diperlakukan sebagai instrumen politik semata. “Hal-hal puitik dan estetik itu sering dimanfaatkan negara untuk jadi kebijakan, bukan untuk mendukung seniman atau kebudayaan itu sendiri. Kadang seniman jauh lebih cepat dalam merespons kehidupan melalui diksi, estetika, maupun satire,” katanya.
Ia bahkan menyinggung fenomena populer seperti joget anggota DPR atau goyang gemoy yang viral di media sosial. “Itu satire sekaligus menyakitkan. Rakyat masih banyak yang hidup miskin, sementara pejabat kita seakan berlomba menampilkan joget-joget di ruang publik,” lanjutnya.
Lebih jauh, Isbedy juga mengkritik kebijakan negara melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menurutnya belum serius dijalankan. “Lihat saja, berkali-kali ada kasus penerima MBG yang keracunan dan nyaris kehilangan nyawa. Namun negara seolah biasa saja menanggapinya,” ungkapnya.
Acara ini juga akan menghadirkan pembacaan puisi oleh sejumlah penyair nasional, di antaranya Sihar Ramses Simatupang, Yahya Andi Saputra, Emi Suy, R. Mulia Nasution, Putri Miranda, Rissa Churia, Nunung Noor El Niel, Nurhayati, Ewith Bahar, Guntoro Sulung, dan masih banyak lagi. Kehadiran mereka menegaskan bahwa Republik Puitik bukan hanya perayaan literasi, tetapi juga momentum refleksi terhadap kondisi bangsa melalui suara-suara penyair.
Dengan membawa isu kebudayaan, kritik sosial, hingga satire politik, acara ini diyakini akan menjadi salah satu forum penting bagi dunia sastra Indonesia. Republik Puitik bukan hanya antologi puisi, melainkan juga ruang bagi para penyair untuk menegaskan posisi mereka sebagai suara moral di tengah hiruk-pikuk bangsa yang kerap melupakan seni dan kebudayaan.***












