PANTAU LAMPUNG – Kritik pedas dilontarkan eks Direktur Utama PT Wahana Raharja BUMD Lampung, Ferdi Gunsan, terkait langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung dalam menangani kasus dugaan korupsi di PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB). Kasus yang menyeret tiga direksi hingga berujung penahanan pada Senin malam, 22 September 2025 ini, menuai polemik besar di masyarakat.
Dalam konferensi pers, Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya, menyebut bahwa penanganan kasus PT LEB akan dijadikan role model dalam pengelolaan Participating Interest (PI) 10% dari sektor migas di seluruh Indonesia. Menurutnya, langkah ini diharapkan bisa menjadi acuan agar pengelolaan dana benar, tepat sasaran, serta mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang maksimal.
Namun, klaim tersebut langsung dipatahkan oleh Ferdi Gunsan. Ia menilai Kejati Lampung justru terburu-buru mengambil tindakan tanpa dasar hukum yang jelas. “Wah, ini berarti Kejati Lampung mencari-cari titik lemahnya. Luar biasa ini hebat. Kejati menggunakan Undang-Undang Perampasan Aset, sita dulu baru tanya,” sindir Ferdi.
Lebih lanjut, Ferdi menyoroti bahwa Undang-Undang Perampasan Aset maupun mekanisme pembuktian terbalik yang dijadikan alasan penyitaan belum resmi berlaku. Namun faktanya, aset para pihak yang diperiksa sudah lebih dulu disita. “Apalagi undang-undang pembuktian terbalik belum berlaku, tapi asetnya sudah disita. Nah, ini yang saya anggap janggal,” tegasnya.
Dari informasi yang beredar, Kejati Lampung telah menyita aset milik eks Komisaris PT LEB, Heri Wardoyo, serta mantan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi. Namun langkah ini dianggap tidak konsisten karena aset milik Penjabat (Pj) Gubernur Lampung, Samsudin, yang juga sempat diperiksa, tidak ikut disita.
Ferdi pun mempertanyakan transparansi Kejati dalam proses tersebut. “Kok aset Pj. Gubernur Samsudin enggak disita, padahal saat masa jabatannya uang sebesar Rp140 miliar masuk ke Pemprov. Kenapa dia enggak kena? Ada apa? Coba transparan dulu,” ungkapnya dengan nada tajam.
Ia juga menilai bahwa jargon role model yang digaungkan Kejati Lampung belum benar-benar terbukti. Menurut Ferdi, apa yang dilakukan saat ini justru terlihat seperti mencari-cari kesalahan tanpa ada pembuktian jelas mengenai kerugian negara. “Bagus kalau dicari-cari kelemahannya, tapi kalau kerugian negara belum terjadi, lalu orangnya sudah dihukum, ini tidak bisa disebut role model. Jadi, klaim itu belum pernah benar-benar terjadi,” jelasnya.
Sebagai pembanding, Ferdi menyebut BUMD di Jakarta yang juga mengelola dana PI 10% dengan sistem pembagian dua pihak. Menurutnya, sampai saat ini pengelolaan tersebut tidak pernah dipermasalahkan atau diperiksa oleh aparat hukum. Hal ini memunculkan tanda tanya besar: mengapa hanya PT LEB yang disorot secara ketat?
Kritik Ferdi bukan sekadar soal teknis hukum, melainkan juga menyentuh aspek keadilan dan konsistensi penegakan hukum. Ia menegaskan, jika benar ingin menjadikan kasus ini sebagai role model, Kejati Lampung harus menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. “Kalau tidak transparan dan hanya fokus mencari celah hukum, bagaimana bisa jadi contoh untuk daerah lain?” ujarnya.
Pernyataan Ferdi ini menambah panas polemik kasus PT LEB yang kini menjadi perhatian publik. Banyak pihak menunggu kelanjutan proses hukum, apakah benar-benar akan menjadi role model nasional atau justru berhenti sebagai kontroversi di Lampung.***