PANTAU LAMPUNG– Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang menjatuhkan vonis terhadap dua terdakwa kasus korupsi dana Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kabupaten Pringsewu tahun anggaran 2022. Dalam sidang yang berlangsung Rabu (3/9/2025), keduanya divonis masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara.
Dua terdakwa tersebut adalah Tri Prameswari, S.I.Kom., M.M. alias Tari, serta Rustiyan, S.Pd., M.Pd. Keduanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan dakwaan subsidiair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim yang diketuai Enan Sugiarto, S.H., M.H., dengan anggota Firman Khadafi Tjindarbumi, S.H., M.H. dan Hedi Purbanus, S.H., M.H., menegaskan bahwa perbuatan kedua terdakwa telah merugikan keuangan negara. Namun, karena keduanya telah mengembalikan seluruh kerugian, hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam amar putusan yang dibacakan, Tri Prameswari dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan, dikurangi masa tahanan. Selain itu, ia diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan subsidiair 3 bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp268.243.996. Jumlah uang pengganti tersebut telah dikembalikan sepenuhnya ke rekening titipan Kejari Pringsewu dan dirampas untuk negara.
Sementara itu, terdakwa kedua, Rustiyan, juga divonis pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan, dikurangi masa tahanan. Ia dikenai denda Rp200 juta subsidiair 3 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp215.218.680. Sama seperti terdakwa pertama, uang pengganti tersebut juga telah dikembalikan seluruhnya ke rekening titipan Kejari Pringsewu.
Sebelumnya, JPU Kejari Pringsewu menuntut kedua terdakwa dengan pasal yang lebih berat, yaitu Pasal 2 UU Tipikor, dengan ancaman pidana penjara masing-masing 4 tahun 6 bulan. Selain itu, JPU juga menuntut denda Rp200 juta subsidiair 6 bulan kurungan, serta uang pengganti sesuai kerugian negara. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa unsur dalam pasal primer tidak terpenuhi, sehingga keduanya diputus bersalah dalam dakwaan subsidiair.
Putusan ini mencerminkan adanya perbedaan penilaian antara tuntutan jaksa dan vonis hakim. Meski demikian, keduanya sama-sama menekankan bahwa perbuatan terdakwa jelas merugikan keuangan negara dan melanggar prinsip transparansi dalam pengelolaan dana publik.
Hingga akhir sidang, baik JPU maupun pihak terdakwa menyatakan masih pikir-pikir terhadap putusan tersebut. Hal ini membuka peluang adanya upaya hukum lanjutan, baik berupa banding dari pihak terdakwa maupun JPU jika merasa vonis tersebut belum memenuhi rasa keadilan.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat Pringsewu karena menyangkut dana LPTQ yang seharusnya digunakan untuk pengembangan kegiatan keagamaan, khususnya dalam pembinaan tilawatil Qur’an. Banyak pihak menilai, putusan ini diharapkan memberi efek jera sekaligus menjadi pengingat bagi pejabat publik untuk tidak menyalahgunakan amanah dan kepercayaan masyarakat.***