PANTAU LAMPUNG– Partai NasDem tengah menghadapi gelombang kritik publik yang semakin menguat setelah anggota DPR RI dari partai tersebut, Ahmad Sahroni, membuat pernyataan kontroversial. Dalam sebuah wawancara publik, Sahroni menyebut “orang tolol sedunia” bagi siapa saja yang ingin membubarkan DPR. Pernyataan ini dinilai tidak hanya kontroversial, tetapi juga menghina jejak sejarah dua tokoh besar bangsa: Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dan Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sejarah mencatat bahwa pada 5 Maret 1960, Soekarno mengambil langkah berani dengan membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Keputusan ini dianggap sebagai momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, menegaskan peran presiden dalam menjaga stabilitas politik dan memperkuat arah kebijakan negara di tengah dinamika politik pasca-kemerdekaan.
Sementara itu, pada 23 Juli 2001, Gus Dur juga mengeluarkan Maklumat Presiden yang berisi pembekuan sementara MPR/DPR RI. Meskipun berbeda konteks dan situasi, keputusan Gus Dur tetap tercatat sebagai langkah tegas yang diambil untuk menegakkan prinsip hukum dan mengatur kembali jalannya pemerintahan di tengah krisis politik.
Pernyataan Ahmad Sahroni dinilai publik menyepelekan sejarah panjang tersebut, seolah menilai bahwa pembubaran lembaga negara yang dilakukan dua Presiden besar itu sebagai tindakan “tolol.” Kritik keras muncul dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, sejarawan, dan masyarakat sipil yang menekankan pentingnya menghormati jejak para pendiri bangsa.
Tekanan kini mengarah langsung kepada Partai NasDem untuk mengambil langkah tegas. Banyak pihak menilai bahwa menonaktifkan Sahroni saja tidak cukup. Pemecatan sebagai kader dan anggota DPR dianggap perlu untuk menjaga integritas partai sekaligus menghormati sejarah politik Indonesia. Jika partai abai terhadap pernyataan ini, citra NasDem dipandang akan tercoreng, terutama sebagai partai yang mengaku menjunjung tinggi etika, demokrasi, dan kepatuhan terhadap hukum.
Selain itu, pengamat politik menekankan bahwa komentar Sahroni berpotensi merusak hubungan antara lembaga legislatif dan publik. “Ucapan seperti ini bisa memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR dan partai politik. Dalam konteks demokrasi yang sehat, menghormati sejarah dan tokoh bangsa adalah bagian dari tanggung jawab moral seorang legislator,” ujar Dr. Haryanto, pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis kini menyerukan agar NasDem segera memberikan respons resmi. Mereka berharap partai tidak hanya mengeluarkan pernyataan formal, tetapi juga mengambil langkah konkret yang menunjukkan bahwa NasDem menghargai sejarah bangsa dan menegakkan disiplin kader.
Dengan meningkatnya tekanan publik dan sorotan media, NasDem berada di persimpangan penting: bertindak tegas terhadap anggota partai untuk menjaga wibawa dan kredibilitas, atau menghadapi potensi krisis kepercayaan publik yang lebih luas. Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap kata dan tindakan politisi memiliki dampak besar terhadap persepsi masyarakat, terutama ketika menyangkut sejarah dan warisan bangsa.***