PANTAU LAMPUNG– SMA Negeri 1 Pringsewu tengah menjadi sorotan publik setelah keluarga seorang siswa berinisial Mic (17) menuduh pihak sekolah melakukan tindakan diskriminatif dan merekayasa hukum untuk memaksa orang tua memindahkan anaknya ke sekolah lain. Kasus ini mencuat meski sekolah tersebut dikenal sebagai salah satu sekolah unggulan di Kabupaten Pringsewu.
R. Andi Wijaya, SH, kakak Mic, menegaskan adiknya tidak pernah terlibat dalam kasus narkoba, perkelahian, bullying, maupun tindak kriminal lainnya. Permasalahan yang terjadi murni karena ketertinggalan pelajaran. Ia menilai tindakan sekolah memaksa orang tua membuat surat seolah menarik siswa secara sukarela merupakan praktik yang tidak pantas dan berpotensi membiasakan rekayasa dalam dunia pendidikan.
Persoalan memanas ketika Mic hendak mengambil tas dan buku pelajaran yang ternyata ditahan pihak sekolah. Padahal, ia dijadwalkan memulai sekolah di SMA Xaverius Pringsewu pada 11 Agustus 2025. Penahanan barang tersebut dianggap keluarga sebagai tindakan di luar kepatutan dan berpotensi melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan. Tas akhirnya dapat diambil keluarga pada 12 Agustus 2025.
Ayah Mic, Andre, mengungkapkan pihak sekolah sempat memanggil orang tua pada 2 Agustus 2025 dan menyatakan tidak sanggup lagi mendidik siswa tersebut. Keluarga menerima keputusan itu dan mencari sekolah baru. Namun, pada 8 Agustus, saat meminta surat resmi keterangan dikeluarkan, pihak sekolah justru meminta orang tua menandatangani surat seolah-olah menarik anak secara sukarela. Menurut keluarga, ini merupakan upaya menghindari tanggung jawab moral dan administratif.
Mic sendiri dikenal aktif di kegiatan ekstrakurikuler basket dan pernah membawa tim sekolahnya meraih juara tingkat provinsi. Kesibukan di luar jam pelajaran diduga menjadi salah satu penyebab ketertinggalan akademiknya, namun keluarga menegaskan persoalan ini tidak berkaitan dengan pelanggaran disiplin.
Menanggapi tuduhan tersebut, pihak SMAN 1 Pringsewu melalui Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, memberikan klarifikasi. Pihak sekolah mengaku telah melakukan pembinaan sejak Mic duduk di kelas XI hingga kelas XII, melibatkan guru mata pelajaran, guru BK, wali kelas, dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Semua proses telah ditempuh, termasuk pemanggilan orang tua dan pembuatan perjanjian, namun tidak menunjukkan perubahan signifikan.
Meski demikian, kasus ini memunculkan perdebatan publik mengenai batas kewenangan sekolah negeri dalam mengeluarkan siswa karena alasan akademik. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjamin setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi.
Pengamat pendidikan Hengki Irawan, SH, menilai sekolah negeri memiliki tanggung jawab lebih dalam memberikan pembinaan intensif kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, bukan sekadar mengeluarkan mereka. Sementara itu, Ganto Almansyah, SH, Pengacara Publik Pendidikan, menyoroti praktik pembuatan surat pernyataan atau perjanjian oleh siswa yang menurutnya tidak memiliki kekuatan hukum dan justru menunjukkan lemahnya pemahaman pihak sekolah terhadap UU Perlindungan Anak dan UU Pendidikan Nasional.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa hubungan antara pimpinan sekolah, manajemen, dan komite harus berlandaskan pemenuhan hak konstitusional siswa untuk memperoleh pendidikan, sesuai amanat konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.***