PANTAU LAMPUNG- Perkampungan Budaya Betawi di Srengseng Sawah, Jagakarsa, menjadi saksi bisu perubahan besar dalam sistem pemidanaan Indonesia. Ratusan Klien Pemasyarakatan mengenakan rompi dan sarung tangan, bukan untuk dihukum, tapi untuk membersihkan taman, saluran air, dan danau sekitar. Aksi ini bukan sekadar kegiatan sosial—ia adalah simbol kebangkitan sistem hukum yang lebih manusiawi.
Kegiatan ini merupakan peluncuran resmi Gerakan Nasional Pemasyarakatan: Klien Balai Pemasyarakatan Peduli 2025, sebuah langkah awal implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang akan efektif berlaku pada 2026, khususnya terkait pidana kerja sosial dan pengawasan.
“Kami tidak hanya bersih-bersih. Kami sedang menata ulang wajah pemasyarakatan,” ujar Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto saat meresmikan gerakan tersebut. Ia menekankan bahwa pidana alternatif tak sekadar meringankan beban lapas, tapi juga membangun kembali hubungan antara pelaku dan masyarakat.
Tak hanya di Jakarta, aksi ini digelar serentak oleh Klien Pemasyarakatan di 94 Balai Pemasyarakatan (Bapas) se-Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, klien membersihkan fasilitas umum, taman kota, hingga pantai. Aksi ini adalah bukti nyata bahwa para klien mampu berkontribusi secara positif dan sukarela.
Menurut Agus, pidana kerja sosial adalah bentuk pertanggungjawaban sosial yang tak menambah beban negara. “Ini bukan hanya tentang sanksi. Ini tentang memberi kesempatan kedua, tentang rehabilitasi yang memberi arti,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, turut hadir menyaksikan momen bersejarah itu. “Saya sangat excited. Ini bukan hanya bersih-bersih, tapi langkah awal menuju sistem pemidanaan yang progresif dan berkeadilan,” kata Harkristuti. Ia juga menyebutkan, ke depan, klien pemasyarakatan bisa terlibat dalam pelayanan sosial di panti, sekolah, bahkan sebagai penyuluh anti-kejahatan.
Reformasi ini merupakan kelanjutan dari suksesnya penerapan sistem peradilan pidana anak sejak 2012, yang berhasil menekan jumlah anak di lembaga pemasyarakatan dari 7.000 menjadi sekitar 2.000 saja. Kini, hal serupa dicita-citakan untuk pelaku dewasa melalui pembimbingan dan pengawasan yang lebih aktif oleh PK Bapas (Pembimbing Kemasyarakatan).
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Mashudi menegaskan, “Kami siap mengawal penerapan pidana alternatif dari pra-ajudikasi hingga post-ajudikasi. Pemasyarakatan harus bermanfaat bagi masyarakat.”
Peluncuran ini juga dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah daerah, penegak hukum, hingga jajaran Kemenkumham yang terhubung secara virtual. Di tengah sorak dan semangat gotong royong, satu hal jadi jelas: pidana tak lagi soal membalas, tapi soal memperbaiki.
Dan di hari itu, para klien pemasyarakatan tak sekadar menjalani hukuman—mereka sedang menjemput kembali kepercayaan publik.***