PANTAU LAMPUNG— Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia kini memasuki babak yang tak sekadar menuntut strategi dan fisik, tapi juga nyali. Timnas Indonesia, yang kini berada di bawah komando legenda Belanda Patrick Kluivert, harus siap menghadapi tantangan di luar taktik: keberpihakan sistemik.
Arab Saudi dan Qatar resmi menjadi tuan rumah dua grup di babak Round 4. Di atas kertas: fasilitas lengkap, stadion megah, dan penonton loyal. Tapi di balik layar, cerita yang berulang: wasit “berwarna”, keputusan yang absurd, dan aroma pengaruh finansial yang kuat.
Indonesia pernah mencicipi pahitnya: gol hantu Bahrain, peluit yang lebih tajam saat Garuda menyerang, dan atmosfer yang tak netral. Ini bukan teori konspirasi, tapi realitas pahit yang sudah berkali-kali menimpa tim-tim Asia non-kaya.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia butuh lebih dari sekadar pelatih dengan CV cemerlang. Patrick Kluivert harus jadi Mourinho-nya Asia Tenggara. Ia harus berani bersuara, bahkan bila itu berarti menghadapi federasi. Karena Jose Mourinho mengajarkan satu hal penting: harga diri lebih berharga dari tiga poin.
Mourinho pernah membuat jajaran federasi Turki goyah hanya karena keberaniannya menolak ketidakadilan. Bukan karena dia suka konflik, tapi karena ia tahu—diam itu berarti tunduk.
Timnas Indonesia butuh pelatih yang bukan cuma tahu cara menang, tapi tahu cara melawan. Lawan tak hanya datang dari depan, tapi juga dari meja-meja rapat dan mikrofon yang disetel untuk “mengatur hasil.”
Kini saatnya Kluivert berdiri. Jika keberanian Mourinho bisa mengguncang Eropa, tak ada alasan Garuda takut bersuara di Asia.
Karena sepak bola bukan hanya tentang lolos atau gagal—tapi tentang menjaga kehormatan negara di setiap peluit akhir.***