PANTAU LAMPUNG — Menjawab keresahan publik terhadap maraknya penyelewengan dana desa di Lampung, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) menggelar diskusi publik yang melibatkan Dirkrimsus Polda Lampung dan akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL).
Diskusi mengungkap bahwa kendati dana desa telah dikucurkan sejak 2015, praktik penyimpangan masih terus terjadi, termasuk dalam penyaluran bantuan pangan yang tidak tepat sasaran. Salah satu kasus besar tengah ditangani Polda Lampung dengan 1.067 saksi diperiksa terkait dugaan korupsi di Desa Bandar Agung, Lampung Tengah.
“Penyelewengan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga mencerminkan lemahnya tata kelola dan minimnya literasi hukum di tingkat desa,” ujar Dr. Zainudin, akademisi UBL.
Tantangan Struktural dan Budaya Korupsi
Dirkrimsus Polda Lampung menjelaskan, kompleksitas penanganan korupsi dana desa melibatkan lintas institusi. Mereka mengidentifikasi enam faktor utama penyebab korupsi di desa:
- Money politic dalam pilkades.
- Rendahnya pendidikan dan literasi keuangan kepala desa.
- Minimnya transparansi pengelolaan dana.
- Resistensi terhadap pengawasan.
- Lemahnya sistem check and balance.
- Pengangkatan perangkat desa tanpa kompetensi.
“Pengawasan tidak bisa hanya reaktif. Harus dimulai sejak tahap perencanaan dan distribusi dana,” tegas Kombes Pol dari Dirkrimsus Polda Lampung.
PERMAHI: Peran Mahasiswa Hukum untuk Desa
Ketua PERMAHI, Tri Rahmadona, menyoroti minimnya peran BPD dan aparat pengawas seperti Babinsa serta Babinkamtibmas, yang sering kali tidak memahami peran mereka secara utuh dalam mengawasi dana desa.
Sebagai solusi, PERMAHI menyusun agenda prioritas:
- Advokasi dan pelatihan hukum bagi aparatur desa.
- Kolaborasi dengan Inspektorat dan Pemprov Lampung.
- Membentuk desa-desa percontohan yang dibina mahasiswa dan akademisi.
“Ini bukan cuma masalah hukum, tapi juga soal struktur dan budaya. Mahasiswa hukum harus jadi bagian dari solusi,” tutup Tri.***