Oleh: Kiagus Bambang Utoyo
PANTAU LAMPUNG– Di tengah hiruk-pikuk teknologi dan derasnya arus informasi digital, makna literasi kini terancam menguap menjadi rutinitas kosong. Padahal, sejak ayat pertama diturunkan kepada Rasulullah—Iqra’—membaca telah menjadi jalan spiritual. Seruan agung ini tak semata mengajak membuka lembar buku, tapi menembus lembar kesadaran dan membuka jendela ruhani manusia.
Dalam sejarah kenabian, dari Adam hingga Muhammad SAW, literasi bukan sekadar aktivitas kognitif, melainkan praktik eksistensial. Adam diajari nama-nama sebagai pondasi pengetahuan. Ibrahim membaca bintang demi mencari Tuhan. Musa menerima wahyu tertulis. Isa menghidupkan jiwa dengan firman. Dan Muhammad, sang Nabi terakhir, menjadi pembaca dan penulis realitas semesta yang tak pernah selesai ditafsir.
Literasi Sebagai Laku Ruhani
Literasi sejati adalah zikir dalam fikir, fikir dalam zikir. Ia mengikat nalar dan nurani dalam simpul hikmah. Membaca bukan sekadar menyerap informasi, tapi mengurai pesan kehidupan—membaca alam, waktu, manusia, dan diri sendiri. Literasi yang mencerahkan tak hanya mencetak sarjana, tetapi melahirkan insan kamil—manusia utuh yang sadar akan makna keberadaan.
Namun hari ini, kita menyaksikan paradoks. Buku dan platform digital membanjiri ruang publik, tetapi kering dari kedalaman. Kita menulis banyak, namun miskin hikmah. Literasi kita sering kali berhenti di permukaan: mengejar gelar, mengejar viral, tanpa sempat bertanya—untuk apa semua ini?
Menghidupkan Literasi sebagai Ibadah
Dalam tradisi Islam, menulis dan membaca adalah ibadah. Ulama menulis bukan untuk pengakuan, tapi untuk pengabdian. Mereka menyalin bukan sekadar teks, tapi menanamkan makna. Kitab mereka hidup bukan karena tebalnya halaman, tetapi karena jernihnya jiwa yang menulisnya.
Kita dapat memulai dari langkah kecil namun bermakna: membaca dengan keheningan hati, menulis dengan kesadaran, dan mendidik dengan keteladanan. Literasi bukan tugas guru saja, tapi tanggung jawab bangsa. Ia mesti mengalir dari ruang keluarga ke ruang negara, dari lisan para pemimpin ke laku harian masyarakat.
Menjadi Bangsa Pembaca Makna
Negeri ini hanya akan maju bila rakyatnya bukan sekadar pembaca buku, tetapi pembaca makna. Kita butuh literasi yang tak hanya mencerdaskan, tapi mengasah batin. Literasi yang menumbuhkan akhlak, bukan sekadar nalar. Literasi yang membawa kita pulang, bukan sekadar berkelana.
Sebagaimana Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir dan berzikir, mari jadikan membaca dan menulis sebagai bagian dari perjalanan spiritual. Sebab hidup ini sendiri adalah kitab—setiap hari adalah paragraf, setiap amal adalah kalimat, dan setiap akhir adalah halaman terakhir yang kelak dibacakan di hadapan Sang Penulis Agung.
Literasi bukan sekadar kecakapan. Ia adalah jalan pulang menuju Tuhan.***