PANTAU LAMPUNG– Biasanya, ruang diskusi antara polisi dan masyarakat berlangsung dalam bahasa formal dan penuh kehati-hatian. Namun, yang terjadi di Lampung justru sebaliknya. Kapolda Lampung Irjen Pol. Helmy Santika tampil mematahkan sekat-sekat normatif birokrasi: “Polri harus siap dikritik.”
Pernyataan ini lahir dalam dialog terbuka dengan mahasiswa dan masyarakat sipil. Disampaikan bukan dengan nada defensif, tetapi dengan sikap reflektif. Di saat banyak lembaga cenderung menutup diri, Irjen Helmy justru mengajak Polri bersikap lapang dada terhadap kritik rakyat.
Langkah ini langsung mendapat sorotan positif dari Romadhon Jasn, Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN). Ia menyebut pernyataan Helmy bukan sekadar simbolik, melainkan ujian mentalitas dan kesiapan Polri untuk benar-benar berubah.
“Kekuasaan tanpa kritik hanyalah kediktatoran yang terselubung. Sebaliknya, membuka ruang kritik menandakan keberanian untuk tumbuh dewasa,” ujar Romadhon.
Romadhon menegaskan bahwa kekuatan institusi tidak terletak pada senjata atau barisan yang rapi, melainkan pada kesediaan mendengar dan mengakui kekurangan. Dan menurutnya, kritik adalah pagar moral bagi kekuasaan.
“Yang kita butuhkan bukan hanya polisi yang kuat, tapi polisi yang sadar akan batas kekuatannya. Dan batas itu adalah suara rakyat.”
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kepercayaan publik tak dibangun dari angka statistik semata, tapi dari respons terhadap koreksi. Di sinilah, sikap Kapolda Lampung menjadi penanda penting.
“Ketika kritik dianggap sebagai serangan, institusi justru menciptakan tembok antara dirinya dan rakyat. Tapi ketika kritik diterima sebagai vitamin, demokrasi akan sehat,” lanjutnya.
JAN berharap sikap Irjen Helmy bukan hanya menjadi gaya kepemimpinan di daerah, tapi juga menular ke tubuh Polri secara nasional.
“Jangan jadikan ini hanya momen saat kamera menyala. Jadikan ini kultur dalam tubuh Polri: menerima, mendengar, dan memperbaiki diri,” tegas Romadhon.
Menutup pernyataannya, Romadhon menekankan bahwa perubahan sejati tak akan pernah datang dari retorika, tetapi dari keberanian menantang ego institusional. Dan itu, dimulai dari satu hal sederhana namun esensial: mendengarkan rakyat.
“Polri tidak harus sempurna. Tapi Polri harus bisa dipercaya. Dan kepercayaan itu tumbuh dari sikap terbuka pada kritik.”***