PANTAU LAMPUNG— Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai kurang maksimal dalam menangani kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga timah di PT Timah Tbk. Sikap Kejagung yang hanya meminta uang pengganti sebesar Rp12 triliun dari para terdakwa, termasuk Harvey Moeis dan rekan-rekannya, dipertanyakan oleh Komisi Kejaksaan (Komjak).
Anggota Komjak, Heffinur, menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak mencerminkan upaya maksimal dalam menuntut pertanggungjawaban atas kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp300 triliun. “Kami akan koordinasikan dengan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk memastikan banding dijalankan secara maksimal,” ujar Heffinur.
Dalam kasus ini, terdakwa dikenakan uang pengganti sebesar Rp12 triliun dan denda Rp11 miliar. Namun, Heffinur menilai ketimpangan jelas terlihat antara besaran uang pengganti yang dijatuhkan dengan kerugian negara yang jauh lebih besar.
“Jumlah pengembalian keuangan negara yang diputuskan sangat jauh dari seharusnya. Kami menuntut upaya banding yang lebih optimal agar keputusan ini lebih memenuhi rasa keadilan,” tambah Heffinur.
Selain itu, Komjak juga mempertanyakan keputusan jaksa yang tidak mengajukan banding terhadap Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung, Rusbani alias Bani, yang divonis hanya 2 tahun penjara. Padahal, tuntutan Jaksa adalah 6 tahun penjara.
“Kenapa bisa vonisnya lebih ringan? Dari tuntutan 6 tahun menjadi 2 tahun, kenapa tidak ada banding?” tegas Heffinur.
Anggota Komjak lainnya, Rita Serena Kolibonso, menegaskan pentingnya kesungguhan dan ketelitian dalam pelaksanaan upaya hukum, termasuk banding, untuk memastikan penegakan hukum yang adil. “Kami akan terus memantau putusan-putusan yang belum ada konfirmasi bandingnya,” katanya.***











