PANTAU LAMPUNG – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa sektor jasa keuangan stabil yang didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan likuiditas memadai di tengah ketidakpastian global.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, saat konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK (RDK) Bulanan Mei 2024, pada Senin, 10 Juni 2024.
“Ya itu akibat masih tingginya tensi geopolitik, potensi meluasnya perang dagang, serta kinerja perekonomian global yang masih di bawah ekspektasi,” ujar Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK itu.
Mahendra mengatakan, tensi perang dagang kembali meningkat akibat kenaikan tarif Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Amerika Latin terhadap produk Tiongkok, baik produk green technology maupun besi-baja.
“Pengenaan tarif ini berisiko memperluas perang dagang mengingat Tiongkok adalah mitra dagang utama dan salah satu investor terbesar di Kawasan Amerika Latin. Di AS, tekanan inflasi kembali mereda di tengah moderasi pasar tenaga kerja dan kinerja sektor riil,” katanya.
Menurutnya, hal ini mendorong meredanya tekanan di pasar keuangan global setelah pasar kembali berekspektasi penurunan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak dua kali di akhir tahun 2024.
“Sementara, otoritas moneter di Eropa diekspektasikan akan lebih akomodatif untuk mendorong perekonomian yang lemah di tengah tingkat inflasi yang terus mereda. Pasar mengekspektasikan penurunan suku bunga pada Juni dan tiga kali pemotongan di 2024,” ucapnya.
Lebih dari itu, Mahendra memastikan bahwa di Tiongkok, menyikapi indikasi masih lemahnya kinerja perekonomian, Pemerintah menerbitkan insentif fiskal yang cukup agresif yang dibiayai oleh penerbitan special long-term bond sebesar CNY 1 triliun (sekitar USD138 miliar).
“Penerbitan ke-4 sepanjang sejarah setelah diterbitkan pada 1998 (Asian Financial Crisis), 2008 (Global Financial Crisis), dan 2020 (pandemi),” kata dia lagi.
Mahendra menerangkan bahwa Bank sentral juga akomodatif dengan menyuntikkan likuiditas ke sistem keuangan dan peluncuran beberapa kebijakan untuk mendorong pembiayaan di sektor properti.
“Sejalan dengan Tiongkok, Pemerintah dan Bank Sentral India juga melakukan buyback surat utang jangka panjang dan pendek untuk meningkatkan likuiditas di pasar dan menurunkan yield,” terangnya.
Di perekonomian domestik, sambung Mahendra, pertumbuhan ekonomi di Q1 2024 lebih tinggi dari ekspektasi pasar didorong oleh pengeluaran pemerintah dan Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) sejalan dengan periode Pemilu.
“Kebijakan kenaikan gaji dan pembayaran THR PNS/Pensiunan, serta periode Ramadhan/lebaran. Namun demikian, indikator perekonomian di awal Q2 2024 menunjukkan moderasi pertumbuhan khususnya data-data terkait permintaan masyarakat dan kinerja sektor yang terkait komoditas,” jelasnya.
Di pasar saham, masih dijelaskan Mahendra, IHSG terkoreksi 4,15 persen ytd ke level 6.970,74 (melemah 3,64 persen mtd), dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp11,825 triliun atau naik 1,29 persen ytd, serta membukukan net sell sebesar Rp6,25 triliun ytd.
“Pelemahan terjadi di antaranya di sektor teknologi serta transportasi dan logistik (secara ytd). Di sisi likuiditas transaksi, rata-rata nilai transaksi harian pasar saham tercatat Rp12,17 triliun ytd,” kata dia lagi.
Kemudian, lanjut Mahendra, Di pasar obligasi, indeks pasar obligasi ICBI menguat 1,53 persen ytd ke level 380,33, dengan yield SBN pada 30 Mei rata-rata naik sebesar 22,40 bps (secara ytd) dan non-resident mencatatkan net sell sebesar Rp35,08 triliun.
“Untuk pasar obligasi korporasi per akhir Mei 2024, investor non-resident juga mencatatkan net sell sebesar Rp1,57 triliun ytd,” ungkapnya.
Lebih jauh Mahendra mengatakan, di industri pengelolaan investasi, nilai Asset Under Management (AUM) tercatat sebesar Rp822,48 triliun (turun 0,27 persen ytd), dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana tercatat sebesar Rp482,23 triliun atau turun 3,83 persen ytd dan tercatat net redemption sebesar Rp75,94 triliun ytd pada 31 Mei 2024.
“Penghimpunan dana di pasar modal masih dalam tren yang positif, tercatat nilai Penawaran Umum sebesar Rp86,92 triliun dengan 18 emiten baru. Sementara itu, masih terdapat 141 pipeline Penawaran Umum dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp56,92 triliun,” terangnya.
Mahendra juga menguraikan, untuk penggalangan dana pada Securities Crowdfunding (SCF) yang merupakan alternatif pendanaan bagi UKM, sejak pemberlakuan ketentuan SCF hingga Mei 2024 telah terdapat 17 penyelenggara yang telah mendapatkan izin dari OJK.
“Dengan 546 Penerbit, 174.873 pemodal, dan total dana yang dihimpun sebesar Rp1,13 triliun. Sedangkan, pada Bursa Karbon, sejak diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 31 Mei 2024,” urainya.
Mahendra menambahkan, pada bursa karbon ini dan sejak diluncurkannya tersebut tercatat 62 pengguna jasa yang mendapatkan izin dengan total volume sebesar 608.427 tCO2e dan akumulasi nilai sebesar Rp36,77 miliar.
“Dengan rincian nilai transaksi 26,86 persen di Pasar Reguler, 22,88 persen di Pasar Negosiasi dan 50,26 persen di Pasar Lelang,” ucapnya.
Ke depan, masih ditambahkannya, potensi Bursa Karbon masih sangat besar mempertimbangkan terdapat 3.765 pendaftar yang tercatat di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). ” Dan tingginya potensi unit karbon yang dapat ditawarkan,” tambah Mahendra.***