PANTAU LAMPUNG – Pilkada 2024 mendekat, namun kekhawatiran akan kesulitan merealisasikan janji-janji kampanye masih mengemuka. Janji yang begitu meriah saat kampanye seringkali terbentur oleh berbagai kendala, mulai dari keterbatasan anggaran hingga konflik internal antara pasangan kepala daerah.
Namun, bagaimana seharusnya masyarakat menagih janji-janji tersebut? Meskipun belum ada gugatan hukum secara signifikan terkait hal ini, skeptisisme masyarakat terhadap janji-janji politik semakin meningkat.
Masyarakat cenderung memilih pasangan yang menjanjikan praktik politik uang, karena kehilangan harapan akan perbaikan daerah dari kepala daerah yang baru terpilih.
Ketidakpedulian terhadap janji-janji kampanye juga tercermin dalam kurangnya kepedulian terhadap kelompok rakyat miskin setelah pemilihan. Suara-suara kecil ini hanya menjadi prioritas sementara saat pemilu, namun terpinggirkan setelahnya.
Permasalahan ini juga menyoroti kurangnya aturan yang mengatur janji-janji kampanye oleh penyelenggara pemilihan. Pasangan calon seringkali mengumbar janji yang sulit diwujudkan, bahkan menyerap program-program pemerintah pusat sebagai jualan politik mereka.
Namun, sikap kritis masyarakat sebagai pemilih juga semakin menurun. Keberpihakan terhadap pasangan calon cenderung mengarah pada black campaign atau saling menjatuhkan, meninggalkan kebingungan di tengah masyarakat.
Inilah saatnya pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk mencermati politik janji. Aturan yang mengatur janji kampanye dan sanksi tegas bagi pasangan calon yang tidak memenuhi janjinya perlu segera diterapkan.
Dengan demikian, masyarakat tidak akan terus-menerus dibohongi oleh janji-janji sesaat, dan demokrasi pun dapat menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan yang sebenarnya.***