PANTAU LAMPUNG– Klenteng Siu Hok Bio Semarang menggelar pentas wayang kronik mengusung cerita sejarah tentang kue bulan. Pagelaran wayang bertajuk : “Dumadine Tiong Ciu Pia” karya cipta Ki Jose Amadeus Krisna yang sekaligus tampil sebagai dalang ini digelar di Klenteng Siu Hok Bio, Jalan Wotgandul Timur (Sebelah Selatan Pasar Gang Baru), Semarang, Sabtu, (30/09/2023).
Ketua Yayasan Klenteng Siu Hok Bio/TITD Semarang Gunawan Sutedjo Ketua Panitia perhelatan Go Boen Ming mengatakan pagelaran wayang ini untuk memeriahkan perayaan Tiong Jiu 2574 Pek Gwee 15.
Tiong Jiu merupakan peringatan festival akhir musim panen bagi para petani karena hari ini jatuh pada saat pertengahan musim gugur, di mana para petani telah selesai masa panennya.
“Pagelaran wayang ini merupakan wujud rasa syukur dan berterima kasih kepada Dewa Bumi Yang Mulia Kongco Hok Teng Tjeng Sien. Tek Ceng Sin, juga menjadi momen sedekah bumi untuk Pecinan Semarang,” tandas Gunawan.
Dalang Ki Jose membabar lakon “Dumadine Tiong Ciu Pia” yang mengisahkan tentang legenda Dewi Bulan. Sebuah lukisan Chang’e melarikan diri ke bulan oleh Tsukioka Yoshitoshi. Dikisahkan di bumi muncul sepuluh matahari. Houyi, sang pemanah diutus ke bumi bersama istrinya Chang’e untuk memanah sembilan matahari.
Houyi kemudian menjadi pahlawan yang dielu-elukan rakyat. Dewi khayangan turun dan memberikan obat panjang umur pada pasangan suami-istri itu. Karena terlampau dijunjung, Hou Yi akhirnya menjadi sombong.Istrinya menjadi sedih dan kemudian meneguk semua obat yang diberikan pada mereka. Akhirnya tubuhnya perlahan terangkat ke bulan dan menjadi Dewi Bulan.
Pagelaran wayang yang berlangsung gayeng ini dimeriahkan dengan kehadiran duo Toto Pamungkas dan Teguh Hoki yang penampilannya membuat suasana ger-geran dengan humor-humor segarnya.
Pada kesempatan itu, Ki Jose juga kini kaum Tionghoa bebas berekspresi untuk menampilkan budayanya dan beribadah. Pada era orde baru dulu kegiatan yang berhubungan dengan orang Tionghoa diberangus dengan ditetapkannya Inpres No.14 Tahun 1967. Pada era orde baru sempat terjadi putusnya mata rantai kebudayaan Tionghoa di kalangan keluarga sejak tahun 1967 hingga 2000, yakni selama 32 tahunan.
Kemudian pada 2001, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur bagi mereka yang merayakan dan kemudian pada tahun 2002, Mantan Presiden Megawati menetapkan imlek sebagai hari libur nasional. Yang mulai efektif dilaksanakan pada tahun 2003.
(*)