SEMARANG, PL– Puluhan seniman dan musisi yang pernah satu wadah Trotoary — komunitas penyanyi jalanan Semarang pada era reformasi 1998 mengelar reuni di Warung Apresiasi (Wapres) Angkringan Raden Bagus, Kawasan Mberok, Kota Lama, Semarang, Selasa, (15/08/2023).
Perlu diketahui Trotoary lahir pada era reformasi dengan gaya bermusik kritis yang mengangkat persoalan-persoalan sosial yang terjadi di masyarakat dan negara. Silahturahmi dan pertunjukan seni yang digelar Ex Trotoary cukup menyita perhatian sekaligus menghibur warga yang berjalan-jalan di Kota Lama.
Menurut Yuli BDN selaku koordinator hajat temu kangen ini digelar atas inisiator Bagus. Dipaparkannya, meski para mereka para seniman ini sebagian besar sudah bukan lagi berpofesi musisi jalanan mereka tetap ingin menjalin persaudaraan.
“Reunian Ex Trotoary ini merupakan silaturahmi untuk menyatukan balung pisah. Kami dulu senasib dan seperjuangan kini bertemu untuk melepas kerinduan dan juga nostalgia. Agar suasananya pas kami gelar lesehan di trotoar jalan, ujar Yuli sebelum pentas.
Lebih lanjut, Yuli BDN, mengatakan reuni ini tidak sekadar mempertemukan para mantan anggota Trotoary, namun juga sebagai ajang temu seluruh seniman tak hanya dari Kota Semarang tetapi ada yang dating dari Prekalongan, Kendal, Kudus dan Grobogan. Nampak hadir Ketua Dekase Adit, Daniel Hakiki, Slamet Priyatin, dan banyak lagi.
Winasrso salah satu saksi sejarah Trotoary mengatakan, pada era reformasi tahun 1998 Trotoary terbentuk. Para anggota Trotoary mengakualisasikan diri dengan bermusik. “Lewat music menghadirkan kritik-kritik social menyuarakan reformasi. Tak jarang bergabung dengan para mahasiswa berjuang bersama di jalanan untuk menumbangkan rezim orde baru,” tetang Winarso.
Panggung reuni Silaturahmi Ex Trotoary ini juga diisi pula dengan pembacaan puisi, performance art, dan testimoni beberapa aktivis jalanan. Teaterawan Kelana Siwi yang kini bermukim di Kendal menampilkan pertunjukan teatrikal di atas trotoar.
Performance art, Kelana Siwi, menampilkan kegelisahannya tentang keadaan kini dengan aksi teatrikal melukis di atas kanvas. Kelana melakukan eksplorasi melukis dengan tangan cat, tubuh bahkan meminum cat kemudian menyemburkannya ke Kanvas. Cat warna merah dan putih mendominasi kanvas. Sembari tak henti-hentinya Kelana mendedahkan kata-kata. Kelana mengawalinya dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar disusul dngan narasi-narasi kritis.
Menurut Kelana Siwi pesan yang ingin disampaikan semacam catatan perjalanan dari sejak membuncah peristiwa reformasi 1998 yang diharapkan bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik ternyata sia-sia belaka.
Kelana menadaskan, tumbangnya rezim otoriter Suharto yang menandai dimulainya babak baru demokrasi ternyata hanya melahirkan rezim-rezim kecil yang mempecundangi rakyat. “Rakyat memang bisa lebih bebas berteriak, tapi teriakan itu sia-sia dan menguap di antara keras kentut rezim-rezim kecil. Ya, hidup kini tak lebih hanya dalam pusaran rekaan saja. Maka tak heran kita hanya bisa mereka-reka saja,” ujar Kelana ditemui seusai pentas.
(*)