UMAR Ahmad memang memiliki cara menggebrak “kebekuan” situasi di sekitar. Ia pernah melambungkan istilah “dunia akhirat” untuk komplek Islamic Center. Selain itu, Tubaba yang sudah tiada pintunya.
Teranyar, ia berkolaborasi dengan pelukis setempat, Catur Agung Nugroho. Duet melahirkan lukisan berbahan getah karet.
Kalau melukis dengan bahan dasar ampas kopi sudah dilakukan beberapa perupa Lampung.
Dengan getah karet? Rasanya ini yang pertama. Lukisan Umar-Catur dipamerkan dalam
Qoacara Tubaba Art Festival, 27-29 Juli 2023. Dipusatkan dj Uluan Nughik, Tubaba.
Pameran lukis yang prestise. Lukisan Umar-Catur berdampingan dengan puluhan karya lukis Bachtiar Basri.
Festival Seni Tubaba 2023 dibuka Pj Bupati Tubaba sekira pukul 16.00. Meriah. Pengunjung juga meruah. Pembukaan dilaksanakan di ruang terbuka.
Regulasi Komoditi Pertanian
Umar Ahmad mengisahkan niat kolaborasi karya lukis bertajuk “Gunari, Ponimin dan Para Raksasa”. Getah karet adalah bahan dasarnya.
“Ini lahir dari kritik pada regulasi komoditi pertanian,” kata Umar sebelum pembukaan Tubaba Art Festival.
Selain saya, turut dalam percakapan ini adalah Agusri Junaidi, penyair cum ASN, dan Aan Ansyori, politisi Golkar yang seniman.
Dikatakan Umar lagi, ia mengaku peduli pada nasib petani karet. Mereka tak mampu menentukan harga getah karet.
“Beda penjual pakaian, petani karet saat menjual maka harganya ditentukan oleh pembeli. Bayangkan ia tak kuasa atas hasil pertaniannya. Menyedihkan kan?” urai dia.
Ia melanjutkan, kalau penjual pakaian jadi, ia berkuasa terhadap jualannya. “Ini dilema bagi petani karet.”
Lukisan Umar-Catur sangat besar. Selain getah karet sebagai bahan lukisan, ada juga timbangan.
Lukisan berjudul “Gunari, Ponirin, dan Para Raksasa” sebagai realisasi kritis perupa terhadap para raksasa yang semena dalam menentukan harga komoditi pertanian.
Tampaknya, petani selalu hidup dalam gurita raksasa. Mereka tidak berdaya dalam regulasi perdagangan. Para petani, khususnya petani karet, tak berkuasa justru pada miliknya. Ia susah sangat merawat dengan modal tak kecil, setelah panen harga pun bukan ia yang menentukan.
Kritik yang relevan. Keberpihakan seniman akan selalu kepada “korban” kesewenangan kekuasaan. Dalam hal ini para raksasa yang “bermain” di getah karet.
Tampaknya, karet memang lentur: petani yang terjepret wajahnya. Duh.
Semoga yang pertama ini, berlanjut dengan kolaborasi lainnya. Selamat Umar Ahmad dan Catur Agung Nugroho. Tabik.
(Isbedy Stiawan ZS, sastrawan)